SALJU AND HER STEPMOTHER
By : Sekar Hidayatun Najakh
Pagi ini begitu cerah, matahari
tersenyum hangat penuh keanggunan ibarat seorang putri yang sedang duduk
diantara awan-awan putih. Angin semilir menari-nari menerpa wajah seorang gadis
berusia 15 tahun yang sedari tadi duduk di ayunan kayu. Tampak dari raut
wajahnya tidaklah secerah sang mentari. Sesekali tangan kanannya mengusap
matanya yang sembab. “Bunda…” hanya satu kata itu yang keluar dari mulut
mungilnya. Hatinya bagai tercabik ribuan cakar burung elang yang ganas, hancur.
Butiran-butiran bening kembali mengalir melintasi pipinya, kali ini semakin
deras. “Bunda…” masih dengan kata yang sama yang mampu dia ucapkan saat ini.
“Salju…” suara seseorang memecah
lamunannya. “Nenek…” cepat-cepat dia mengusap kedua matanya yang tiada dia
sadari telah meneteskan beberapa butir air mata. “Kamu tidak apa-apa sayang?”
suara lembut sang nenek justru semakin membuat air matanya seakan tak
terbendung lagi. “Nek… Salju belum bisa menerima semua ini, mengapa harus Salju
yang mengalami semua ini? Salju bukan orang yang kuat nek…” kata Salju dengan
nada suara getar dan terisak. “Ini adalah keputusan Tuhan sayang, nenek yakin
Salju adalah gadis yang kuat” dengan mata berkaca-kaca dan mengelus lembut
rambut cucunya itu. Salju menatap sendu seorang wanita yang kini duduk di
samping papanya. Mereka terlihat bahagia, tetapi tidak bagi Salju.
“Pa, Salju berangkat ya…” sambil
mencium lembut tangan papanya dan langsung pergi meninggalkan rumah. Papanya
hanya geleng-geleng kepala, heran melihat sikap putri semata wayangnya itu.
“Mungkin dia ada kelas pagi mas, makanya dia buru-buru” kata seorang wanita
cantik yang kini duduk di sampingnya sambil menuang kopi hangat ke dalam
cangkir putih di hadapannya. “Maafkan sikap Salju ya, dia sebenarnya gadis yang
baik dan sopan” ucap seorang lelaki berkacamata yang telah sebulan menjadi
suaminya. “Tidak apa-apa, suatu saat Salju pasti akan mengerti dengan
keadaannya mas” jawab wanita itu dengan senyum yang penuh dengan kelembutan.
“Ini foto pernikahan papamu? Ibu
tirimu cantik ya… dan masih muda sepertinya” kata seorang gadis berwajah bulat
yang kini memegang telepon genggam milik Salju. “Cantik? Muda katamu? Umurnya
tidak jauh beda dengan umur mendiang bundaku. Mungkin karena dia sering
perawatan makanya kelihatan lebih muda” jawab Salju seakan kurang setuju dengan
perkataan sahabatnya. “Iya memang cantik Salju, lihat baik-baik dulu… dan
sepertinya mirip” tambahnya kemudian. “Mirip sama siapa?” jawab Salju singkat.
Sonya hanya bisa meringis dan menunjuk kearah Salju. Senyum masampun terbentuk
sesaat di bibir Salju.
Malam yang begitu indah, ribuan
bintang bercahaya menghiasi kelamnya malam. Bulan tak sedikitpun merasa
kesepian. Salju tersenyum sambil menatap langit malam, dengan kesendiriannya.
“Malam ini sangat indah ya…” suara seorang wanita mampu melenyapkan senyum di
wajah Salju. “Boleh mama duduk disini?” tambahnya kemudian. Salju hanya
terdiam, seakan tiada kata yang pantas diucapkan untuk wanita itu. “Besok
papamu akan pergi ke Jerman, papamu ingin kamu menemuinya sekarang” belum
sempat dia selesai berbicara, Saljupun langsung beranjak pergi tanpa
meninggalkan satu katapun.
“Aku merindukan papa…” desahnya pagi
ini. Liburan panjang seperti ini sangat menyiksa bagi Salju. Hanya bersama sang
ibu tiri dan bibi Titin, sungguh hari-hari yang menyiksa baginya. “Mungkin ke
ayunan perasaanku bisa sedikit lebih baik” pikirnya.
“Pak
Agus, tolong pikirkan lagi keputusan itu” perkataan ibu tirinya membuat Salju
penasaran dan diam-diam mendengarkan apa yang akan terdengar setelahnya. “Pak
Romi sendiri yang membuat keputusan itu setahun yang lalu bu, bukankah Salju
seorang yang berkompeten dibidang ini? Bahkan Salju sudah hampir selesai kuliah
dibidang ini” kata Pak Agus menjelaskan. “Setidaknya tunggu sampai Salju
benar-benar telah selesai dan secara resmi memperoleh gelar dibidang ini pak,
bapak bisa wakilkan posisi ini kepada saya” jawab ibu tiri Salju. “Saya tahu,
ibu orang yang cerdas dan cocok untuk posisi ini. Mungkin saya akan memberi
tahu kepada Pak Romi sebelum memutuskan” kata Pak Agus kemudian. “Aku akan
pulang ke rumah nenek…” kata Salju lirih dengan mata berkaca-kaca.
Semua barang-barang berharga
miliknya telah tersusun manis di dalam tas koper berwarna merah muda
kesayangannya. Koper hadiah ulang tahun ke 15 tepat sebulan sebelum bundanya
meninggal. Tatapannya sendu, menyapu seluruh isi kamar. Belum terpikir entah
berapa lama dia akan kembali ke kamar ini, pikirannya masih kacau dengan perbincangan
sang ibu tiri dengan pengacara papanya. Padahal hari ini adalah hari yang
berharga dalam hidupnya. Hari dimana sang bunda tercinta melahirkannya. Disaat
butiran salju turun menyelimuti Kota Berlin seakan menyambut kelahiran seorang
putri cantik, Salju namanya.
Rumah sederhana namun penuh
kehangatan, disinilah sang papa tercinta lahir dan dibesarkan hingga sukses
seperti sekarang. “Rumahku tidak sehangat dulu lagi, disini aku berharap
menemukan kehangatan yang hilang walaupun tak akan pernah sama” desah Salju
dalam hati. Desa ini telah lama tak ia kunjungi setelah kepergian sang bunda.
Desa yang penuh ketenangan yang dulu biasa ia kunjungi ketika papa dan bundanya
libur kerja. Salju menatap aliran sungai yang tak jauh dari rumah neneknya.
“Bunda,
Salju takut…”
“Jangan
takut, ada bunda disini” tanpa ia sadari, memori masa lalunya melintas bersama
aliran sungai itu. Air matanya kembali menetes, “Salju kesepian bunda”
tangisnya dalam hati. “Kak Salju main yuk…” kata adik-adik sepupunya dan empat
anak tetangga yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Ternyata dia tidak sendiri, pikirannya yang membuat Salju merasa selalu
kesepian. Salju tersenyum kecil melihat tingkah lucu dan penuh kepolosan
anak-anak seusia mereka. Jika di kota, anak-anak seusia mereka tidaklah sepolos
ini. “Takut tenggelam” katanya kemudian. Mereka hanya tertawa mendengar jawaban
dari Salju.
“Salju mau kemana?” tanya sang nenek
sedikit heran. Salju terlihat ceria beberapa hari ini semenjak cucu-cucunya
yang lain sering datang ke rumah. “Salju pergi dengan mereka nek…” jawab Salju
sambil menunjuk kearah adik-adik sepupunya dan beberapa anak tetangga. “Naik
sepeda? Hati-hati ya…” sang nenek hanya tersenyum dan geleng kepala. Asalkan
bisa membuat Salju tersenyum kembali, tiada alasan untuknya melarang Salju
pergi. Senyum Salju perlahan mulai kembali, walau belum seratus persen. Bersama
Angga, Adil, Mimi, Faris, Dafa, Tari, dan Ira ia perlahan merajut benang
kebahagiaan yang sempat putus.
“Mama
ada urusan apa datang kesini?”
“Karena
mama ingin tahu keadaan kamu, Salju”
“Belum
puas dengan apa yang mama dapatkan?”
“Maksud
kamu apa?”
“Tidak
perlu Salju jelaskan”
“Tetapi
ada yang ingin mama jelaskan”
“Tidak
perlu”
Seakan
petir kembali menyambar hati Salju. Benang kebahagiaan yang mulai dia rajut
kembali kusut dengan kedatangan wanita itu. Wanita yang sangat dia benci.
Wanita yang telah merebut posisi bunda di hati papanya setelah bundanya pergi.
Wanita yang selalu iri dengan kecerdasannya sehingga berusaha menggantikan posisi
penting perusahaan sang papa yang seharusnya ia tempati. “Ratih, kau telah
berhasil merebut posisi bunda dan posisiku…” teriak Salju dalam hati.
“Salju,
sudah makan? Ini mama masak masakan istimewa untuk kamu” kata Ratih. “Itu ada
saus kacangnya, Salju tidak boleh memakannya” kata nenek Salju sedikit panik. “Nenek,
dia mungkin berniat lain. Seolah dia tak tahu kalau Salju alergi kacang tanah”
kata Salju berlalu dengan tatapan sinis. Ratih menunduk lemas.
“Kalian
makan apa? Kelihatannya enak” kata Salju sambil menunjuk jajanan berbentuk
lonjong yang dimakan oleh adik-adik yang kini menjadi sahabat bermainnya. “Ini
enak kak, kakak mau?” kata Angga. “Mmmm takut sakit perut” kata Salju sedikit
gengsi. “Kak Salju belum sarapankan? Nanti kakak sakit” kata Mimi. “Ini masih
banyak kak” kata Adil sambil menyodorkan jajanan itu kehadapan Salju. Sedikit
ragu, Salju perlahan meraih satu tusuk dan memakan jajanan itu. “Rasanya enak
dan gurih” kata Salju sambil tersenyum. “Kalau kakak suka, makan lagi kak” kata
Faris. “Iya kak, ini masih banyak kak” kata Tari dan Dafa. Lima tusuk jajanan
itu kini telah berhasil masuk ke dalam perut Salju.
“Kita
mau kemana?” kata Salju. “Ke sawah kak. Kakak sakit?” kata Ira. Salju tak mampu
berkata apa-apa. Perutnya terasa sakit luar biasa dan kepalanya terasa berat.
Perlahan dia tak mampu berjalan, lemah dan terjatuh. “Kak Salju…” teriak Angga,
Adil, Mimi, Faris, Dafa, dan Tari. Tubuh Salju tergeletak dipangkuan Ira.
“Bunda…
dia siapa?” kata Salju. Salju kebingungan dengan sesosok wanita yang ada
disamping bundanya. Wanita itu kemudian membalikkan badan, Ratih. “Bunda, dia
wanita jahat” teriak Salju. Sang Bunda hanya menggeleng lemah, menatap Ratih
dan tersenyum. Perlahan bayangannya menghilang. “Bunda jangan pergi” teriak
Salju sambil berusaha menarik tangan bundanya namun terlambat, tinggal sosok
Ratih yang ada disana. “Bunda…” tangis Salju pecah, perlahan Ratih memeluk
lembut tubuh Salju.
“Bunda,
bunda…” kata Salju. “Salju, mama disini sayang” jawab Ratih dengan mata sembab.
“Sakit” keluh Salju sambil memegang kepalanya. Ditatap sekelilingnya, mama
Ratih, nenek dan para sahabat bermainnya. “Apa yang terjadi?” kata Salju dengan
raut wajah kebingungan. “Kamu keracunan makanan sayang, mereka yang membawa
kamu sampai ke rumah dan kamu pingsan selama dua hari ini” kata Ratih sambil
memegang tangan Salju. “Salju mempunyai riwayat alergi udang, jajanan yang
Salju makan itu sosis udang. Untungnya dokter cepat memberi obat alergi” kata
nenek. “Maafkan kami nek, kami tidak tahu kalau kak Salju tidak boleh makan
udang” kata Dafa. Nenek tersenyum sambil mengelus pipi Dafa, “Tidak apa-apa”.
“Apa
yang sebenarnya terjadi? Mengapa dalam mimpi itu bunda seakan melarang aku
untuk membenci Ratih” kata Salju diliputi kebingungan. “Akhir-akhir ini dia
baik, dia yang merawatku selama aku sakit bahkan disaat nenek tidak sedang di
rumah” pikir Salju. “Boleh mama duduk disini?” kata Ratih sambil tersenyum.
“Boleh, boleh ma” kata Salju. “Sebelum menikah dengan papa, apa mama sudah
kenal dengan bunda?” tanya Salju sedikit terbata. “Sebenarnya mama akan
membicarakan ini setelah kamu sembuh” kata Ratih. “Salju tidak akan sembuh jika
masih ada rahasia dikeluarga ini ma…” kata Salju dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan
aku Ratih, aku tidak bermaksud untuk merebut Mas Romi darimu”
“Hati
siapa yang tak sakit mbak, Mas Romi telah berjanji akan menikahi saya setelah
saya wisuda”
“Aku
juga tidak bisa berbuat apa-apa, kami dijodohkan Ratih. Kami sama-sama terikat
dengan janji bakti kepada orang tua kami masing-masing. Maafkan aku dan Mas
Romi. Cinta Mas Romi hanya untukmu Ratih, kau adalah cinta pertamanya. Aku juga
akan menanggung beban berat jika Mas Romi tidak bisa mencintaiku”
Tanpa
dia sadari, air mata Salju terus menetes. “Ma, maafkan Salju. Bukan Mama yang
merebut papa dari bunda dan Salju. Tapi…” Salju memeluk erat tubuh Ratih.
“Maafkan bunda ma, maafkan Salju” tangis Salju semakin deras. “Tidak ada yang
saling merebut sayang, itu adalah takdir dari Tuhan. Cinta mama tidak pernah
hilang, hanya waktu saja yang sempat tertunda. Tidak ada lelaki lain di hati
mama kecuali papamu. Bundamu adalah orang yang baik, bahkan dia memberi anak
yang cantik dan pintar untuk mama” kata Ratih sambil semakin erat memeluk tubuh
Salju. “Salju janji akan menjadi putri yang baik untuk mama” jawab Salju sambil
terisak-isak. “Mama juga akan berusaha memberikan cinta mama untuk Salju
walaupun tak sebanding dengan cinta bunda Salju” sambil menatap Salju dengan
penuh kasih sayang.
Setahun
kemudian…
“Salju”
“Iya,
saya Salju. Anda siapa ya?”
“Saya
Haris”
“Maaf
Haris siapa ya?”
“Wajar
jika kamu tidak kenal siapa saya, saat itu kamu sedang dalam keadaan tidak
sadar. Saya dokter yang saat itu sedang praktik di Puskesmas Desa Sidomulyo,
ada 7 orang anak SMP yang membawa kamu”
“Lalu?”
“Saya
ingin mengenal kamu lebih jauh boleh?”
“Saya
tidak tahu, coba anda tanya langsung ke papa dan mama saya”
“Baiklah
besok saya ke rumah kamu”
***
“Pa,
besok ada tamu”
“Siapa?
Dokter Haris?”
“Kok
papa tahu?”
“Kalian
sudah kami jodohkan, kamu bersediakan?”
“Papa…
Salju jadi malu”
“Diakan
pangeran penyelamat tuan putri kami, iya kan pa?”
“Betul
ma, tuan putri Salju dan pangeran Haris”
“Sudah
sudah… pipinya jadi merah itu”
“Terserah
papa sama mama, Salju yakin pilihan papa sama mama adalah yang terbaik”.
SELESAI^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar