Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 07 Oktober 2016

SALJU AND HER STEPMOTHER
By : Sekar Hidayatun Najakh
            Pagi ini begitu cerah, matahari tersenyum hangat penuh keanggunan ibarat seorang putri yang sedang duduk diantara awan-awan putih. Angin semilir menari-nari menerpa wajah seorang gadis berusia 15 tahun yang sedari tadi duduk di ayunan kayu. Tampak dari raut wajahnya tidaklah secerah sang mentari. Sesekali tangan kanannya mengusap matanya yang sembab. “Bunda…” hanya satu kata itu yang keluar dari mulut mungilnya. Hatinya bagai tercabik ribuan cakar burung elang yang ganas, hancur. Butiran-butiran bening kembali mengalir melintasi pipinya, kali ini semakin deras. “Bunda…” masih dengan kata yang sama yang mampu dia ucapkan saat ini.
            “Salju…” suara seseorang memecah lamunannya. “Nenek…” cepat-cepat dia mengusap kedua matanya yang tiada dia sadari telah meneteskan beberapa butir air mata. “Kamu tidak apa-apa sayang?” suara lembut sang nenek justru semakin membuat air matanya seakan tak terbendung lagi. “Nek… Salju belum bisa menerima semua ini, mengapa harus Salju yang mengalami semua ini? Salju bukan orang yang kuat nek…” kata Salju dengan nada suara getar dan terisak. “Ini adalah keputusan Tuhan sayang, nenek yakin Salju adalah gadis yang kuat” dengan mata berkaca-kaca dan mengelus lembut rambut cucunya itu. Salju menatap sendu seorang wanita yang kini duduk di samping papanya. Mereka terlihat bahagia, tetapi tidak bagi Salju.
            “Pa, Salju berangkat ya…” sambil mencium lembut tangan papanya dan langsung pergi meninggalkan rumah. Papanya hanya geleng-geleng kepala, heran melihat sikap putri semata wayangnya itu. “Mungkin dia ada kelas pagi mas, makanya dia buru-buru” kata seorang wanita cantik yang kini duduk di sampingnya sambil menuang kopi hangat ke dalam cangkir putih di hadapannya. “Maafkan sikap Salju ya, dia sebenarnya gadis yang baik dan sopan” ucap seorang lelaki berkacamata yang telah sebulan menjadi suaminya. “Tidak apa-apa, suatu saat Salju pasti akan mengerti dengan keadaannya mas” jawab wanita itu dengan senyum yang penuh dengan kelembutan.
            “Ini foto pernikahan papamu? Ibu tirimu cantik ya… dan masih muda sepertinya” kata seorang gadis berwajah bulat yang kini memegang telepon genggam milik Salju. “Cantik? Muda katamu? Umurnya tidak jauh beda dengan umur mendiang bundaku. Mungkin karena dia sering perawatan makanya kelihatan lebih muda” jawab Salju seakan kurang setuju dengan perkataan sahabatnya. “Iya memang cantik Salju, lihat baik-baik dulu… dan sepertinya mirip” tambahnya kemudian. “Mirip sama siapa?” jawab Salju singkat. Sonya hanya bisa meringis dan menunjuk kearah Salju. Senyum masampun terbentuk sesaat di bibir Salju.
            Malam yang begitu indah, ribuan bintang bercahaya menghiasi kelamnya malam. Bulan tak sedikitpun merasa kesepian. Salju tersenyum sambil menatap langit malam, dengan kesendiriannya. “Malam ini sangat indah ya…” suara seorang wanita mampu melenyapkan senyum di wajah Salju. “Boleh mama duduk disini?” tambahnya kemudian. Salju hanya terdiam, seakan tiada kata yang pantas diucapkan untuk wanita itu. “Besok papamu akan pergi ke Jerman, papamu ingin kamu menemuinya sekarang” belum sempat dia selesai berbicara, Saljupun langsung beranjak pergi tanpa meninggalkan satu katapun.
            “Aku merindukan papa…” desahnya pagi ini. Liburan panjang seperti ini sangat menyiksa bagi Salju. Hanya bersama sang ibu tiri dan bibi Titin, sungguh hari-hari yang menyiksa baginya. “Mungkin ke ayunan perasaanku bisa sedikit lebih baik” pikirnya.
“Pak Agus, tolong pikirkan lagi keputusan itu” perkataan ibu tirinya membuat Salju penasaran dan diam-diam mendengarkan apa yang akan terdengar setelahnya. “Pak Romi sendiri yang membuat keputusan itu setahun yang lalu bu, bukankah Salju seorang yang berkompeten dibidang ini? Bahkan Salju sudah hampir selesai kuliah dibidang ini” kata Pak Agus menjelaskan. “Setidaknya tunggu sampai Salju benar-benar telah selesai dan secara resmi memperoleh gelar dibidang ini pak, bapak bisa wakilkan posisi ini kepada saya” jawab ibu tiri Salju. “Saya tahu, ibu orang yang cerdas dan cocok untuk posisi ini. Mungkin saya akan memberi tahu kepada Pak Romi sebelum memutuskan” kata Pak Agus kemudian. “Aku akan pulang ke rumah nenek…” kata Salju lirih dengan mata berkaca-kaca.
            Semua barang-barang berharga miliknya telah tersusun manis di dalam tas koper berwarna merah muda kesayangannya. Koper hadiah ulang tahun ke 15 tepat sebulan sebelum bundanya meninggal. Tatapannya sendu, menyapu seluruh isi kamar. Belum terpikir entah berapa lama dia akan kembali ke kamar ini, pikirannya masih kacau dengan perbincangan sang ibu tiri dengan pengacara papanya. Padahal hari ini adalah hari yang berharga dalam hidupnya. Hari dimana sang bunda tercinta melahirkannya. Disaat butiran salju turun menyelimuti Kota Berlin seakan menyambut kelahiran seorang putri cantik, Salju namanya.
            Rumah sederhana namun penuh kehangatan, disinilah sang papa tercinta lahir dan dibesarkan hingga sukses seperti sekarang. “Rumahku tidak sehangat dulu lagi, disini aku berharap menemukan kehangatan yang hilang walaupun tak akan pernah sama” desah Salju dalam hati. Desa ini telah lama tak ia kunjungi setelah kepergian sang bunda. Desa yang penuh ketenangan yang dulu biasa ia kunjungi ketika papa dan bundanya libur kerja. Salju menatap aliran sungai yang tak jauh dari rumah neneknya.
“Bunda, Salju takut…”
“Jangan takut, ada bunda disini” tanpa ia sadari, memori masa lalunya melintas bersama aliran sungai itu. Air matanya kembali menetes, “Salju kesepian bunda” tangisnya dalam hati. “Kak Salju main yuk…” kata adik-adik sepupunya dan empat anak tetangga yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ternyata dia tidak sendiri, pikirannya yang membuat Salju merasa selalu kesepian. Salju tersenyum kecil melihat tingkah lucu dan penuh kepolosan anak-anak seusia mereka. Jika di kota, anak-anak seusia mereka tidaklah sepolos ini. “Takut tenggelam” katanya kemudian. Mereka hanya tertawa mendengar jawaban dari Salju.
            “Salju mau kemana?” tanya sang nenek sedikit heran. Salju terlihat ceria beberapa hari ini semenjak cucu-cucunya yang lain sering datang ke rumah. “Salju pergi dengan mereka nek…” jawab Salju sambil menunjuk kearah adik-adik sepupunya dan beberapa anak tetangga. “Naik sepeda? Hati-hati ya…” sang nenek hanya tersenyum dan geleng kepala. Asalkan bisa membuat Salju tersenyum kembali, tiada alasan untuknya melarang Salju pergi. Senyum Salju perlahan mulai kembali, walau belum seratus persen. Bersama Angga, Adil, Mimi, Faris, Dafa, Tari, dan Ira ia perlahan merajut benang kebahagiaan yang sempat putus.
“Mama ada urusan apa datang kesini?”
“Karena mama ingin tahu keadaan kamu, Salju”
“Belum puas dengan apa yang mama dapatkan?”
“Maksud kamu apa?”
“Tidak perlu Salju jelaskan”
“Tetapi ada yang ingin mama jelaskan”
“Tidak perlu”
Seakan petir kembali menyambar hati Salju. Benang kebahagiaan yang mulai dia rajut kembali kusut dengan kedatangan wanita itu. Wanita yang sangat dia benci. Wanita yang telah merebut posisi bunda di hati papanya setelah bundanya pergi. Wanita yang selalu iri dengan kecerdasannya sehingga berusaha menggantikan posisi penting perusahaan sang papa yang seharusnya ia tempati. “Ratih, kau telah berhasil merebut posisi bunda dan posisiku…” teriak Salju dalam hati.
“Salju, sudah makan? Ini mama masak masakan istimewa untuk kamu” kata Ratih. “Itu ada saus kacangnya, Salju tidak boleh memakannya” kata nenek Salju sedikit panik. “Nenek, dia mungkin berniat lain. Seolah dia tak tahu kalau Salju alergi kacang tanah” kata Salju berlalu dengan tatapan sinis. Ratih menunduk lemas.
“Kalian makan apa? Kelihatannya enak” kata Salju sambil menunjuk jajanan berbentuk lonjong yang dimakan oleh adik-adik yang kini menjadi sahabat bermainnya. “Ini enak kak, kakak mau?” kata Angga. “Mmmm takut sakit perut” kata Salju sedikit gengsi. “Kak Salju belum sarapankan? Nanti kakak sakit” kata Mimi. “Ini masih banyak kak” kata Adil sambil menyodorkan jajanan itu kehadapan Salju. Sedikit ragu, Salju perlahan meraih satu tusuk dan memakan jajanan itu. “Rasanya enak dan gurih” kata Salju sambil tersenyum. “Kalau kakak suka, makan lagi kak” kata Faris. “Iya kak, ini masih banyak kak” kata Tari dan Dafa. Lima tusuk jajanan itu kini telah berhasil masuk ke dalam perut Salju.
“Kita mau kemana?” kata Salju. “Ke sawah kak. Kakak sakit?” kata Ira. Salju tak mampu berkata apa-apa. Perutnya terasa sakit luar biasa dan kepalanya terasa berat. Perlahan dia tak mampu berjalan, lemah dan terjatuh. “Kak Salju…” teriak Angga, Adil, Mimi, Faris, Dafa, dan Tari. Tubuh Salju tergeletak dipangkuan Ira.
“Bunda… dia siapa?” kata Salju. Salju kebingungan dengan sesosok wanita yang ada disamping bundanya. Wanita itu kemudian membalikkan badan, Ratih. “Bunda, dia wanita jahat” teriak Salju. Sang Bunda hanya menggeleng lemah, menatap Ratih dan tersenyum. Perlahan bayangannya menghilang. “Bunda jangan pergi” teriak Salju sambil berusaha menarik tangan bundanya namun terlambat, tinggal sosok Ratih yang ada disana. “Bunda…” tangis Salju pecah, perlahan Ratih memeluk lembut tubuh Salju.
“Bunda, bunda…” kata Salju. “Salju, mama disini sayang” jawab Ratih dengan mata sembab. “Sakit” keluh Salju sambil memegang kepalanya. Ditatap sekelilingnya, mama Ratih, nenek dan para sahabat bermainnya. “Apa yang terjadi?” kata Salju dengan raut wajah kebingungan. “Kamu keracunan makanan sayang, mereka yang membawa kamu sampai ke rumah dan kamu pingsan selama dua hari ini” kata Ratih sambil memegang tangan Salju. “Salju mempunyai riwayat alergi udang, jajanan yang Salju makan itu sosis udang. Untungnya dokter cepat memberi obat alergi” kata nenek. “Maafkan kami nek, kami tidak tahu kalau kak Salju tidak boleh makan udang” kata Dafa. Nenek tersenyum sambil mengelus pipi Dafa, “Tidak apa-apa”.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dalam mimpi itu bunda seakan melarang aku untuk membenci Ratih” kata Salju diliputi kebingungan. “Akhir-akhir ini dia baik, dia yang merawatku selama aku sakit bahkan disaat nenek tidak sedang di rumah” pikir Salju. “Boleh mama duduk disini?” kata Ratih sambil tersenyum. “Boleh, boleh ma” kata Salju. “Sebelum menikah dengan papa, apa mama sudah kenal dengan bunda?” tanya Salju sedikit terbata. “Sebenarnya mama akan membicarakan ini setelah kamu sembuh” kata Ratih. “Salju tidak akan sembuh jika masih ada rahasia dikeluarga ini ma…” kata Salju dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan aku Ratih, aku tidak bermaksud untuk merebut Mas Romi darimu”
“Hati siapa yang tak sakit mbak, Mas Romi telah berjanji akan menikahi saya setelah saya wisuda”
“Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, kami dijodohkan Ratih. Kami sama-sama terikat dengan janji bakti kepada orang tua kami masing-masing. Maafkan aku dan Mas Romi. Cinta Mas Romi hanya untukmu Ratih, kau adalah cinta pertamanya. Aku juga akan menanggung beban berat jika Mas Romi tidak bisa mencintaiku”
Tanpa dia sadari, air mata Salju terus menetes. “Ma, maafkan Salju. Bukan Mama yang merebut papa dari bunda dan Salju. Tapi…” Salju memeluk erat tubuh Ratih. “Maafkan bunda ma, maafkan Salju” tangis Salju semakin deras. “Tidak ada yang saling merebut sayang, itu adalah takdir dari Tuhan. Cinta mama tidak pernah hilang, hanya waktu saja yang sempat tertunda. Tidak ada lelaki lain di hati mama kecuali papamu. Bundamu adalah orang yang baik, bahkan dia memberi anak yang cantik dan pintar untuk mama” kata Ratih sambil semakin erat memeluk tubuh Salju. “Salju janji akan menjadi putri yang baik untuk mama” jawab Salju sambil terisak-isak. “Mama juga akan berusaha memberikan cinta mama untuk Salju walaupun tak sebanding dengan cinta bunda Salju” sambil menatap Salju dengan penuh kasih sayang.
Setahun kemudian…
“Salju”
“Iya, saya Salju. Anda siapa ya?”
“Saya Haris”
“Maaf Haris siapa ya?”
“Wajar jika kamu tidak kenal siapa saya, saat itu kamu sedang dalam keadaan tidak sadar. Saya dokter yang saat itu sedang praktik di Puskesmas Desa Sidomulyo, ada 7 orang anak SMP yang membawa kamu”
“Lalu?”
“Saya ingin mengenal kamu lebih jauh boleh?”
“Saya tidak tahu, coba anda tanya langsung ke papa dan mama saya”
“Baiklah besok saya ke rumah kamu”
***
“Pa, besok ada tamu”
“Siapa? Dokter Haris?”
“Kok papa tahu?”
“Kalian sudah kami jodohkan, kamu bersediakan?”
“Papa… Salju jadi malu”
“Diakan pangeran penyelamat tuan putri kami, iya kan pa?”
“Betul ma, tuan putri Salju dan pangeran Haris”
“Sudah sudah… pipinya jadi merah itu”

“Terserah papa sama mama, Salju yakin pilihan papa sama mama adalah yang terbaik”.

SELESAI^^